Angel in Our Live (Part III)…(Silent Moment

Periode setelah orang tua kami meninggal mungkin lebih tepat disebut sebagai Saat Kesunyian, kesunyian tanpa nasehat, kesunyian tanpa sapaan dan kasih sayang nyata dari orang tua kami. Tapi menjadi lebih berarti sangat dalam bagi Sa, Sa menjelma menjadi seorang anak kecil yang pendiam dan pemendam rasa.

Jujur, tak pernah kami sadari hal itu, hingga satu saat di Makassar. Setelah kedua orang tua kami wafat, karena saya harus bekerja di lampung, dan adik saya sedang sibuk dengan tugas kuliahnya (Atut sedang menyelesaikan tugas akhirnya, dan frida dengan kuliahnya) maka kami memutuskan untuk menitipkan Sasa ditempat Ninik (adik kedua saya yang telah menikah dan ikut suaminya di Makasar). Saat itu yang kami pikirkan adalah Sa harus merefreskan pikirannya agar hilang semua kesedihan. Dan pasti lebih terurus karena sejak bayi sudah bersama Ninik. Dan memang benar, berat badan Sa naik setelah 2 bulan di makasar, walaupun saat pertama kali tiba di Makasar Sa sempet mencoba kabur dari rumah, dengan membawa seluruh pakaiannya dan tiket pesawat bekas. Pernah terpikir oleh anda semua, ada seorang anak melakukannya hal ini, jika dipikirannya tidak ada apa-apa?

Saat baru 3 bulan di Makasar, adikku Ninik alhamdullilah diberi anugrah hamil anaknya yang ke-2, setelah mengalami keguguran anaknya yang pertama. Masa ngidam yang sangat terbilang lumayan merepotkan menurut saya. Maaf, mual hingga muntah hampir tiap hari, bahkan sampai tak sanggup melihat sinar matahari,sehingga tak pernah keluar hingga usia 4 bulan, dan juga tak bisa menyiapkan makanan untuk suami dan sasa. Bukan ngidam adikku yang menjadi hal paling penting sebenarnya, tapi dari kejadian inilah sesuatu yang tidak pernah kami duga sebelumnya terjadi.

Ternyata ngidam adikku ini membuka satu cerita baru bagi kami, Setiap kali adikku (maaf) mual, adikku Sa akan lari ke pojok ruang dan akan terdiam dengan wajah ketakutan. Pernah satu kali Ninik menanyakannya kepada Sasa, Sa hanya terdiam dan bilang mba nik Sakit?. Satu kali setelah beberapa kali melihat Sa seperti itu, Nik kembali menanyakan kembali ke Sa, dan Apa Jawaban Sa, mba ….mba nik mau meninggal ya?...mba nik muntah-muntah seperti ibu…ibu kan muntah trus meninggal…

Inilah bom waktu itu, akhirnya meledak. Inilah saat perputaran rekaman itu. Rekaman tentang kesakitan Bapak, Kesakitan ibu dan kesakitan Eyang serta mungkin juga kekhawatiran kami. Semua terekam jelas dalam kepala adik kami, yang disebut Trauma. Dan ternyata setiap melihat orang berantem, orang menangis dan orang muntah (maaf) maka reaksi Sa adalah ketakutan. Ketakutan akan ditinggal oleh orang-orang yang disayanginya.

Pagi itu kebetulan saya sedang cuti, dan tepat saat itu Nik menelpon dengan menangis dan mengusulkan dia tidak tahan melihat hal seperti itu. Kondisi ketakutan yang terus berulang-ulang, makan yang tidak terurus dan Sa yang menjadi sangat pendiam, membuat kami menjadi khawatir. Akhirnya kami putuskan untuk membawa kembali Sa ke Purwokerto. Ada 1 kebiasaan Sa lagi selama di Makasar, yang sampai sekarang masih ada. Sa suka sekali melukis. Dan kesukaannya inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu cara dia mengungkapkan sesuatu. Terutama ketika dia belum bisa membaca. Lukisannya sepintas sangat biasa, tapi bagi kami sarat dengan makna.

Kami coba berkonsultasi dengan beberapa teman dan membaca beberapa buku tentang psikologi anak. Salah satu cara mengukapkan isi hati pada anak-anak adalah melalui media lukis dan kata-kata dalam karangannya. Kebetulan Saya dan adik-adik memang selalu memberikan hadiah berupa buku atau kertas atau pensil lukis padanya. Akhirnya lukisannya menjadi media curhat Sa kepada kami. Karena memang setelah kejadian itu, Sa menjadi anak yang pendiam sekali. Sa akan memberikan lukisannya atau tulisannya kepada siapa yang dia maksud, atau terkadang Sa akan menempelkannya di dinding aduan. Hehehe…kami merelakan 1 dinding di ruang keluarga, khusus untuk protes Sa.

Berbeda sekali apabila boleh saya bandingkan dengan anak yang lain. Sa adalah anak yang paling gensi menangis di depan kami. Disaat dia sakit sekalipun, dia akan lebih menahan tangisnya dibanding bilang…………. mba sa sakit. Paling gengsi meminta sesuatu kepada kami, boleh dihitung dengan jari selama 4 tahun ini, berapa kali Sa mengatakan, mba beli ini ya…beli itu ya. Dia mengekspresikan keinginannya lewat lukisan atau kata-kata sindiran. Subhannallah. Tapi karena Sa, kami harus belajar banyak tentang anak. Membaca buku tentang anak, segala macam hanya untuk mengetahui, Sa ingin apa. Sa adalah jalan ilmu kami. Tak akan pernah terpikir oleh kami, hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi sekali lagi Sasa telah membawa kami ke dunia yang sangat indah. Dunia ilmu, ilmu tentang anak. Dia adalah Jalan Kasih Rabbku pada kami. Sementara banyak orang diluar sana baru berpengalaman dengan anak setelah mereka memiliki sendiri, tapi kami sudah langsung diberi kursus sebelum kami benar-benar memilikinya sendiri. Sa adalah sekolah kami, Sa adalah guru kami. Subhannallah, Alhamdullilah, Allohu Akbar. Beruntung banget kan punya Sasa….(tunggu di bagian ke-4….bagian the real life without our parents begins …..for My Sa)

0 komentar: