Angel in Our Live (Part 4)…(That Real life….begins)


Sebelum memulai menulis ini semua….Saya ingin mengatakan..tulisan ini saya unggah ke blog saya bukan untuk mengumbar kehidupan kami…tapi saya ingin semua orang belajar tentang Belahan Jiwa kita, titipan Allah dan sekaligus kanvas putih tempat kita akan menulis hitam, biru, merah atau apa saja. Saya ingin kita semua belajar bahwa Anak adalah hal indah dalam hidup kita, siapapun dan bagaimanapun dia. Seburuk atau secantik apapun dia. Anak tetaplah anak, yang hidup dengan dunia mereka, yang bahagia dengan pikiran mereka. Mereka adalah kumpulan beribu chip kosong yang akan menangkap semua apa yang mereka lihat, mereka rasa dan mereka pikir. Dan mereka akan merekamnya hingga saatnya. Saya dedikasikan tulisan ini untuk semua manusia mungil dimanapun kalian berada dan terutama untuk Sa….Agar Sa tumbuh dengan kebanggaannya sendiri…Tumbuh menjadi Sa yang tegar, menjadi Sa yang paling bahagia tanpa ada beban apapun lagi di pikiran Sa.

Kembali ke Sa ya…..Saat Sa kami jemput di Makasar, Sa sudah bersekolah TK B. Tapi lagi-lagi tanpa alasan yang jelas dia tidak mau masuk sekolah. Tapi menurut Nik, ketidakmauannya lebih disebabkan oleh pengajarnya yang kata-katanya kasar. Akhirnya Ngambek ga mau sekolah.

Sampai di Purwokerto saat itu, kalau tidak salah sudah memasuki tahun ajaran baru. Sudah berjalan pertengahan tahun. Kami sempat bingung mencarikan sekolah untuk Sa. Tapi kami teringat, ketika Bapak dan Ibu masih ada, mereka ingin menyekolahkan Sasa ke TK Pamardi Siwi. Kami coba datang ke tempat itu, dan menjelaskan tentang adik kami, Alhamdullilah mereka menyabut Sa dengan tangan terbuka.

Jadilah Sa bersekolah di tempat itu. Atut, Frida dan Wawa mengantar dan menjemput mereka secara bergantian setiap hari. Karena sepeda motor kami hanya 1, maka terkadang Sa naik angkutan umum dengan Wawa atau Atut. Hehehe…..lucu kalo Sa naik angkutan umum, dia senang sekali, mungkin dia kangen dengan mobil kami yang dahulu ya…sekarang mobil itu telah kami jual, karena kami pikir biaya perawatan akan mahal sekali walaupun sayang sebenarnya karena banyak kenangan kami sekeluarga. Saat TKpun kami seringkali menanyakan kondisi Sa pada pengajar disana. Saat pertama Sa, hampir asik dengan dunianya sendiri, bermain sendiri, tapi alhamdullilah pengajar disana mengarahkan Sa hingga dia bisa bergaul dengan teman-temannya. Walaupun Sa, sampai sekarang tidak pernah hafal dengan nama temannya satu per satu….(menyebalkan ya,…hehe). Dan kebiasaannya itu masih ada sampai sekarang dia kelas 3 SD.

Karena Atut dan Frida saat itu memang masih kuliah, dan seringkali waktu kuliah Frida atau Atut setelah pulang sekolah Sa, maka setelah dijemput maka Sa akan ikut Atut atau Frida ke kampus. Bermain sendiri di Taman UNSOED waktu itu, sambil mengingatkan Sa kepada Bapak Alm. Dulu ketika Bapak masih hidup, Sa sering diajak ke Fakultas ekonomi, ikut ngajar atau Cuma menjemput Nik atau ibu. Kalau menuggu Fri atau Atut kuliah, Sa harus dibelikan roti, dan jumlahnya harus 2, satu untuk dia, dan 1 untuk ikan koi di kolam UNSOED (entah sekarang masih atau tidak). Kasihan melihat dia seperti itu, kasian juga melihat Fri dan Atut yang harus repot juga karena hal ini. Tapi ini semua ya memang harus seperti ini.

Karena kebiasaannya ini, Sa menjadi anak yang paling anti ikan dan ayam. “Ikan itu untuk dipelihara bukan untuk dimakan, kasian kan” ,katanya suatu hari. Ayampun demikian. Malah ayam sudah sedari kecil, karena setiap hari, ada jadual dia memberi makan ayam tetangga. Dan benar saja, Sa baru mau makan ikan setelah dia SD kelas 1, setelah kami bujuk dengan berbagai cara. Sementara tentang ayam, dia sudah terlebih dahulu mau, tapi ya dengan berbagai macam cara, hingga Sa tidak lagi melihat serat dagingnya. Lagi-lagi, Sa adalah jalan bagi kami untuk belajar dan memasak makanan, hingga menyajikan makanan yang menarik. Berapa resep masakan yang kami otak-atik sendiri agar dia mau makan ayam dan ikan. Dan karena Sa sejak kecil hanya makan dengan variasi bumbu yang sangat minim, maka dia tidak suka dengan makanan dengan bumbu yang lengkap. Saat TK sampai SD dia lebih suka makan selain nasi, maka kamipun harus memutar otak bagaimana caranya dia bisa makan nasi. Kesukaan masak saya bisa dibilang karena Sa juga.

Wajah Sa yang sekarang adalah wajah ibu, sementara kebiasaan Sa adalah kebiasaan Bapak. Suka dengan air, suka dengan singkong, suka dengan soto, suka dengan mie, membaca buku dengan cepat, pendiam, adalah tipikal Bapak. Dia akan sangat penasaran dengan sesuatu, dan terkadang kita harus buka-buka buku dulu atau browsing internet untuk Sekedar menjawab pertanyaannya. Seperti suatu saat, Frida dan Sa sedang membaca Juz amma bergambar, di surat At Tien, Sa penasaran sekali seperti apa buah tien itu. Cita-citanya adalah belajar di luar negeri. Ketika kami berempat, Sa, Fri, Atut dan saya sedang makan di sebuah kedai pizza di purwokerto, sambil makan, dia menunjuk sebuah lukisan Jam besar..…Sa pingin sekolah ke sana. Amin Sa. Semoga Allah mengabulkan keinginanmu seperti Allah kabulkan keinginan Bapak untuk sekolah di US. Melihat dia sekarang seperti melihat kombinasi kedua orang tua kami.

Ada 1 cerita yang sangat saya dan adik-adik saya ingat, dan semoga hal ini tidak pernah terjadi pada siapapun lagi setelah Sa. Saat itu Sa, sudah lulus TK dan akan melanjutkan sekolah. Jauh-jauh hari, saya dan adik saya sudah merencanakan akan menyekolahkan Sasa di sekolah yang terbaik sesuai dengan kemampuan kami. Saat itu kami punya 2 alternatif, sekolah IT atau sekolah negeri yang termasuk favorit di kota kami. Karena beberapa pertimbangan, setelah kami bertiga berdiskusi, maka kami putuskan Sa kami daftarkan ke sekolah negeri tersebut. Letaknya hanya 100 m ke arah barat Dari TK Pamardi Siwi.

Dana sudah kami siapkan. Sa juga sudah kami Tanya berulang-ulang untuk memastikan dia suka. Karena memang harus teliti bila bertanya pada dia, karena ya itu….terkadang kita ga tahu Sa suka atau tidak. Prinsip kami, bila Sa suka maka kami akan ikut dengan dia. Tiba saat pendaftaran sekolah. Saat itu umur Sa baru 6.1 tahun. Jadi memang bermasalah dengan umur. Tapi karena ada tes kemampuan akademik juga kami optimis sa bisa masuklah. Kami memang sempat khawatir bagaimana hasilnya dengan Sa. Saat uji berlangsung Sa ditemani Frida dan Bu dhe kami, saat itu memang sa menjawab dengan sekenanya saja, tapi tulis menulis dia bisa kerjakan semua. Kemudian Frida, Sa dan bud he saat itu ditanya tentang administrasi, bila anak ini diterima siapa yang akan bertanggung jawab, biaya pendaftaran sebanyak ini dan segala macam . Mungkin wajar mereka meragukan kemampuan kami yang yatim piatu, tapi apa ya iya to harus mendetail sekali seperti itu. Tersinggung ya es? Hehehe….jujur saat itu saya kesal dan sebel banget. Dan itu semua, kata-kata itu semua dilontarkan di depan Sasa. Adik saya yang sepertinya tadinya suka, diam lagi. Waktu itu, sepertinya mereka sangat keberatan dengan umur Sa, tapi pertanyaannya selalu lagi-lagi menjurus pada keuangan…uang…uang dan uang. Mau bukti ?

Satu hari sebelum penerimaan siswa, adik saya Atut (atut sudah bekerja di Jakarta) setelah mendengar cerita Sa seperti itu, langsung mengambil cuti. Dan Pagi itu pula, Atut menghadap Kepala sekolah, Tanya tentang kemungkinan Sa diterima atau tidak. Karena terus terang, saat itu sulit sekali mencari sekolah karena hampir semua sudah penuh dengan daftar calon siswa. Saat itu kepala Sekolah SD yang favorit itu lagi-lagi mempermasalhkan umur. Dan itu diucapkan di depan adik saya. Tapi lagi-lagi ujung-ujungnya yang ditanyakan siapa yang akan bertanggung jawab…..duit lagi. Adik Saya waktu itu sudah sangat kesal, saat disodori formulir perwalian, semua diisi dengan penuh emosi. Dia sebutkan siapa wali Sasa, lengkap nama, Jabatan dan Gelar, detail penghasilan. Nama kami, jabatan, Gelar dan Penghasilan kami. Itu kami isi lengkap karena kekesalan kami.

Dan apa yang terjadi, ketika esok pengumuman, ternyata Sa langsung diterima tanpa syarat apapun. Dan jahatnya lagi, dari kemampuan akademik, dan kategori usia, Sa berada di urutan ke- 14 dan No 1 dari semua anak yang usianya dibawah 7 tahun. Seharusnya dia bisa masuk tanpa syarat apapun. Astagfirullah…saat sekolah gratis….saat semua mengatakan harus mengasihi yatim piatu ada saja orang yang tega melakukan itu. Begitu saya ditelpon Atut ketika pengumuman itu, saya marah…Maaf…kurang ajar banget…Orang-orang itu. Saya mengumpat tiada henti, mereka tidak tahu kecemasan kami, apakah bisa sekolah atau tidak, mereka mempermainkan kami dengan kata-kata siapa yang bertanggung jawab. Spontan saat itu juga…..saya bilang ke Atut….Ga usah diambil tut…dan tanya Sa dia masih mau atau ga? Dan saat itupun Sa kami Tanya, Sa menjawab,”Ga mau mba. Sa ga mau sekolah disitu,…..Jawaban Sa yang lagi-lagi membuat kami miris. Didepan Anak ada seorang Guru yang berani mengatakan seperti kata-kata di atas ya…..apa dia tidak pernah berpikir kalo anaknya juga mengalami apa yang Sa rasakan….Saat ditanya kepala sekolah lagi, kami langsung menjawab, “maaf bu, adik saya sudah didaftarkan di Makasar, sore ini langsung berangkat ke Jogja, besok pagi dengan penerbangan pertama ke Makasar, karena jawaban ibu kemarin seperti itu, kami khawatir Sa tidak bisa sekolah tahun ini”. Padahal itu semua bohong, tidak ada sekolah di makasar, tidak ada penerbangan. Semua kebohongan kami lakukan untuk melontarkan kekesalan kami.

Konsekuensi nya adalah Kami langsung bagi tugas mencari sekolah untuk Sa. Karena kondisinya saat itu memang hampir semua sekolah sudah penuh. Kami kalang kabut, saya saat itu ada dirumah, posisi saya saat itu sebagai operator, pencari informasi dan pembuat keputusan. Hampir semua sekolah dasar di Purwokerto yang kami anggap mau menerima adik saya sudah kami hubungi. Tapi sudah penuh semua. Akhirnya kami duduk lemas di kursi sambil bertanya ke sasa, apa yang dia inginkan sekarang. Sa saat itu bilang dia ingin bersekolah dengan Hana, sahabat sasa dan masih saudara kami. Hana saat itu sudah mendaftar ke SD tempat saya dan adik-adik saya dulu bersekolah. SD Negeri Sidabowa 1. Memang SD ini adalah SD tempat saya dan adik-adik saya belajar ilmu dan disiplin yang mungkin sampai sekarang masih kami rasakan sekarang ini. Hanya saat itu kami berpikir kalau Sasa punya kesempatan mengenyam pendidikan dengan kualitas yang lebih baik, kenapa tidak?. Tapi ternyata dugaan kami salah. Garis nasib belum mengijinkan kami untuk memberi pendidikan yang lebih baik kepada Sasa. Akhirnya kami menanamkan dalam diri, pasti ada hal baik dengan ini semua. Saat ini adik saya Sasa sudah bersekolah di sekolah kami dahulu, sekolah kampong, unggulan hanya di tingkat kecamatan. Dan semenjak saat itu, kami berusaha menanamkan pada Sasa, sekolah dimana saja akan sama kalau kita muridnya mau maju. Punya keinginan kuat untuk belajar.

Tetap saja, kami selalu menanamkan kebangaan pada Sasa. Laskar Pelangi menjadi buku dan Film kebangaannya. Dan jadi senjata kami untuk menanamkan semangat padanya. Dan selalu Kami berusaha mencari ilmu lain dari ilmu yang diberikan di sekolah. Buku-buku bacaan apa saja semampu kami sediakan untuknya. Terutama tidak mau kejadian pada kami terulang, kami mencoba sediakan buku agama islam padanya. Agar dia percaya, bahwa Allah sayang dengan Sasa, Allah tidak pernah mengambil semua yang Sasa sayangi, tapi mengantikannya dengan yang Lebih baik.
Dan kebetulan Sasa adik kami, adalah anak yang suka dengan museum, penasaran dengan gejala alam, dan segala rekreasi yang berkaitan dengan ilmu atau sejarah. Jadi kami tidak merasa kesulitan untuk memilih jenis rekreasi. Impian dari kelas 1 SD adalah melihat Borobudur, dan alhamdullilah kami sudah mengajaknya kesana pada bulan Januari lalu. Menurut saya, ini adalah liburan yang berbeda dengan liburan saya dan adik-adik ke Borobudur sebelumnya, 9 tahun lalu. Saat itu saya dan adik-adik masih dipandu orang tua kami, tapi liburan kali ini saya dan adik saya atut menjadi pemandunya. Sangat berbeda. Museum dan buku panduan kami jadikan pedoman kami, sambil kami belajar lagi. Liburan yang istimewa. Setiap detail relief ditanya Sasa, pusing kami dibuatnya. Tapi asyik.

Bersyukur sekali rasanya punya Sasa, saya ikut banyak belajar darinya. Hal-hal yang dulu saya anggap remeh ternyata menjadi bahan belajar bagi Saya sekarang ini. Saya belajar dunia mereka yang Indah. Dunia para malaikat kecil.
Hari ini, setelah 4 tahun waktu diam itu kami lalui, pertama kalinya Sasa menangis dalam pelukan Fri, bilang Sasa kangen Bapak IBu. Pertama kalinya Sasa, sang pengengsi, Malaikat kami menangis mengaku kangen pada Bapak Ibu kami. Saat itu saya ada di kantor saya di Lampung, begitu saya terima sms dia, saya lari dan menangis, bahagia, terharu, dan sedih mendengar ini semua.

Saya hanya berharap, Sa bisa membaca tulisan ini suatu saat. Mba es pingin Sa tahu, Mba semua sayang Sa, pingin sa bisa bahagia, sebahagia kami memiliki kamu. Sa tidak pernah ditingalkan siapapun. IBu dan Bapak hanya Allah pangil kembali, Dan Allah gantikan pelindung sa dengan seribu malaikat dan Sang Maha Penyayang dan Pengasih yang melebihi kasih siapapun, Allah SWT. DIA selalu hadirkan kebaikan untuk Sa dimanapun dan Kapanpun Sa berada. Sa harus yakin itu. Tumbuhlah menjadi adik mba ES yang bahagia, yang percaya bahwa Allah selalu bersama Sa, dan Bapak IBu akan selalu di hati kita. Amin

Ini semua mba Tulis untuk hadiah ultah adik mba yang sangat amat mba sayangi. Malaikat kecil dalam hidup mba yang amat berharga dalam hidup mba.....Hiduplah bahagia dalam dekapan RahmatNYA adikku...Allah dan seribu malaikat ada disekelilingmu...Mba sangat mencintai kamu....

Angel in Our Live (Part III)…(Silent Moment

Periode setelah orang tua kami meninggal mungkin lebih tepat disebut sebagai Saat Kesunyian, kesunyian tanpa nasehat, kesunyian tanpa sapaan dan kasih sayang nyata dari orang tua kami. Tapi menjadi lebih berarti sangat dalam bagi Sa, Sa menjelma menjadi seorang anak kecil yang pendiam dan pemendam rasa.

Jujur, tak pernah kami sadari hal itu, hingga satu saat di Makassar. Setelah kedua orang tua kami wafat, karena saya harus bekerja di lampung, dan adik saya sedang sibuk dengan tugas kuliahnya (Atut sedang menyelesaikan tugas akhirnya, dan frida dengan kuliahnya) maka kami memutuskan untuk menitipkan Sasa ditempat Ninik (adik kedua saya yang telah menikah dan ikut suaminya di Makasar). Saat itu yang kami pikirkan adalah Sa harus merefreskan pikirannya agar hilang semua kesedihan. Dan pasti lebih terurus karena sejak bayi sudah bersama Ninik. Dan memang benar, berat badan Sa naik setelah 2 bulan di makasar, walaupun saat pertama kali tiba di Makasar Sa sempet mencoba kabur dari rumah, dengan membawa seluruh pakaiannya dan tiket pesawat bekas. Pernah terpikir oleh anda semua, ada seorang anak melakukannya hal ini, jika dipikirannya tidak ada apa-apa?

Saat baru 3 bulan di Makasar, adikku Ninik alhamdullilah diberi anugrah hamil anaknya yang ke-2, setelah mengalami keguguran anaknya yang pertama. Masa ngidam yang sangat terbilang lumayan merepotkan menurut saya. Maaf, mual hingga muntah hampir tiap hari, bahkan sampai tak sanggup melihat sinar matahari,sehingga tak pernah keluar hingga usia 4 bulan, dan juga tak bisa menyiapkan makanan untuk suami dan sasa. Bukan ngidam adikku yang menjadi hal paling penting sebenarnya, tapi dari kejadian inilah sesuatu yang tidak pernah kami duga sebelumnya terjadi.

Ternyata ngidam adikku ini membuka satu cerita baru bagi kami, Setiap kali adikku (maaf) mual, adikku Sa akan lari ke pojok ruang dan akan terdiam dengan wajah ketakutan. Pernah satu kali Ninik menanyakannya kepada Sasa, Sa hanya terdiam dan bilang mba nik Sakit?. Satu kali setelah beberapa kali melihat Sa seperti itu, Nik kembali menanyakan kembali ke Sa, dan Apa Jawaban Sa, mba ….mba nik mau meninggal ya?...mba nik muntah-muntah seperti ibu…ibu kan muntah trus meninggal…

Inilah bom waktu itu, akhirnya meledak. Inilah saat perputaran rekaman itu. Rekaman tentang kesakitan Bapak, Kesakitan ibu dan kesakitan Eyang serta mungkin juga kekhawatiran kami. Semua terekam jelas dalam kepala adik kami, yang disebut Trauma. Dan ternyata setiap melihat orang berantem, orang menangis dan orang muntah (maaf) maka reaksi Sa adalah ketakutan. Ketakutan akan ditinggal oleh orang-orang yang disayanginya.

Pagi itu kebetulan saya sedang cuti, dan tepat saat itu Nik menelpon dengan menangis dan mengusulkan dia tidak tahan melihat hal seperti itu. Kondisi ketakutan yang terus berulang-ulang, makan yang tidak terurus dan Sa yang menjadi sangat pendiam, membuat kami menjadi khawatir. Akhirnya kami putuskan untuk membawa kembali Sa ke Purwokerto. Ada 1 kebiasaan Sa lagi selama di Makasar, yang sampai sekarang masih ada. Sa suka sekali melukis. Dan kesukaannya inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu cara dia mengungkapkan sesuatu. Terutama ketika dia belum bisa membaca. Lukisannya sepintas sangat biasa, tapi bagi kami sarat dengan makna.

Kami coba berkonsultasi dengan beberapa teman dan membaca beberapa buku tentang psikologi anak. Salah satu cara mengukapkan isi hati pada anak-anak adalah melalui media lukis dan kata-kata dalam karangannya. Kebetulan Saya dan adik-adik memang selalu memberikan hadiah berupa buku atau kertas atau pensil lukis padanya. Akhirnya lukisannya menjadi media curhat Sa kepada kami. Karena memang setelah kejadian itu, Sa menjadi anak yang pendiam sekali. Sa akan memberikan lukisannya atau tulisannya kepada siapa yang dia maksud, atau terkadang Sa akan menempelkannya di dinding aduan. Hehehe…kami merelakan 1 dinding di ruang keluarga, khusus untuk protes Sa.

Berbeda sekali apabila boleh saya bandingkan dengan anak yang lain. Sa adalah anak yang paling gensi menangis di depan kami. Disaat dia sakit sekalipun, dia akan lebih menahan tangisnya dibanding bilang…………. mba sa sakit. Paling gengsi meminta sesuatu kepada kami, boleh dihitung dengan jari selama 4 tahun ini, berapa kali Sa mengatakan, mba beli ini ya…beli itu ya. Dia mengekspresikan keinginannya lewat lukisan atau kata-kata sindiran. Subhannallah. Tapi karena Sa, kami harus belajar banyak tentang anak. Membaca buku tentang anak, segala macam hanya untuk mengetahui, Sa ingin apa. Sa adalah jalan ilmu kami. Tak akan pernah terpikir oleh kami, hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi sekali lagi Sasa telah membawa kami ke dunia yang sangat indah. Dunia ilmu, ilmu tentang anak. Dia adalah Jalan Kasih Rabbku pada kami. Sementara banyak orang diluar sana baru berpengalaman dengan anak setelah mereka memiliki sendiri, tapi kami sudah langsung diberi kursus sebelum kami benar-benar memilikinya sendiri. Sa adalah sekolah kami, Sa adalah guru kami. Subhannallah, Alhamdullilah, Allohu Akbar. Beruntung banget kan punya Sasa….(tunggu di bagian ke-4….bagian the real life without our parents begins …..for My Sa)